Tanda sebuah buku berkesan buat saya bisa dilihat sesederhana ini: ketika saya mulai memosisikan diri saya seolah menjadi bagian dari cerita. Biasanya, hal itu saya lakukan karena merasa cukup bisa meresonansi diri saya dengan karakter yang ada.
Disclaimer: Sebagai sekuel dari Painting Flowers karya Nureesh Vhalega, tolong diingat kalau ulasan ini akan mengandung spoiler. Saran saya teman-teman bisa terlebih dahulu membaca review untuk buku pertamanya di sini.
Tepat setelah tragedi batalnya pernikahan Laisa terjadi, Painting Scars melanjutkan kisah tentang bagaimana sulitnya perjuangan Laisa untuk bangkit dari keterpurukannya. Pengkhianatan Gavin melukainya lebih dari apapun. Untungnya, Sabrina dan anggota Thumb A Ride yang lain senantiasa berada di sisi Laisa untuk terus mendukungnya. Laisa pun pelan-pelan bangkit, mulai bersedia untuk bertemu orang-orang baru, sambil tak henti-hentinya dihadapkan pada dua pilihan tersulit: menerima kembali atau melepaskan.
Berpusar pada rasa frustrasi Laisa seusai pernikahannya batal, Painting Scars memang diawali dengan agak lambat. Mungkin tujuannya adalah untuk menyorot betapa sulitnya proses Laisa menerima pengkhianatan Gavin, namun karena hal itu, butuh beberapa hari untuk saya melewati bab-bab awal karena plotnya yang terkesan berputar di hal yang sama.
Untungnya setelah berhasil melewati tahap tersebut, saya gak bisa berhenti baca. Saya suka bagaimana setiap karakter di buku ini digali dengan cukup dalam. Dua karakter favorit saya, Fani dan Adnan, punya jalan ceritanya sendiri yang menyentuh banget. Dimulai dengan kenyataan bahwa mereka gak bisa bersama karena perbedaan keyakinan hingga twist yang disuguhkan di tengah-tengah cerita... jujur, nyesek banget. Saya bahkan nyaris lebih suka sama kisah mereka berdua ketimbang Laisa kalau bukan karena ending buku ini yang berhasil mengejutkan saya.
Saya gak bisa cerita banyak karena takut spoiler, tapi saya yakin akan ada mixed feeling tentang bagaimana buku ini berakhir. Buat saya pribadi, Painting Flowers berakhir dengan sangat realistis dan ngena. Apalagi epilog dan bonus chapternya, saya suka banget. Tolong lewati bagian ini kalau kalian belum baca bukunya: buku ini juga mengingatkan saya kalau hubungan yang toxic itu gak baik. Seperti kata Laisa, cinta yang malah bikin kita terobsesi dan cemburuan itu justru gak sehat. Meski agak sedih, saya jujur mendukung keputusan Laisa 100%. Ini yang bikin saya agak lama termenung, mikirin bagaimana nasib setiap karakternya dan jadi sedih sendiri.
Secara keseluruhan, saya sangat menikmati Painting Scars ini. Selain kisah jatuh-bangun persahabatan yang dikemas dengan hangat, pesan yang dituangkan penulis pun menurut saya penting banget untuk diingat. Penyelesaian konfliknya pun menurut saya sudah oke banget, hanya saja khusus untuk Mamanya Laisa, saya rasa perubahannya agak sedikit terlalu mendadak. Tapi tetap, saya akan merekomendasikan buku ini bagi teman-teman yang kepingin baca buku romance yang gak gampang tertebak.
Actual rating: 3.5★
0 Comments