Mengulang 8... 9... 10... Udah Belom?! Karya Laurentia Dermawan

Di awal tahun ini, sekali lagi saya berhasil membuktikan kalau selera seseorang pasti berubah seiring berjalannya waktu. Jika minggu lalu hipotesis ini terbukti dengan perubahan opini saya terhadap buku-buku klasik, hari ini saya mengujinya dengan salah satu buku teenlit jadul yang zaman SMA dulu sering saya ulang-ulang saking sukanya: 8... 9... 10... Udah Belom?! karya Laurentia Dermawan.


Buku ini dimulai dengan kisah masa kecil Nesya dan Vino yang sempat tinggal di kompleks perumahan yang sama. Meski sering terluka saat main sama Eca kecil, Pino gak pernah kapok seperti anak lainnya. Keduanya masih sering bermain bersama di taman kompleks mereka setiap sore. Namun suatu hari, ketika lagi asyik bermain petak umpat, Vino yang sedang mencari Nesya keburu ditarik pulang oleh pengasuhnya karena mereka besok mau pindah rumah, alhasil Nesya yang ketakutan ditinggal sendirian saat hari mulai gelap pun hanya bisa menangis hingga seorang anak laki-laki bernama Mike datang dan mengantarnya pulang.

Cerita pun berlanjut sepuluh tahun kemudian. Nesya dan Kiara, sahabatnya, akan memulai hari baru sebagai siswi di SMA Pelita. Tak disangka, Nesya bertemu lagi dengan sosok Vino yang tak dapat diingatnya sama sekali. Pasalnya, Nesya baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas dengan Mike dua bulan lalu dan mengalami amnesia. Hal itu pun tentu saja mengagetkan Vino yang sama sekali gak tahu kalau Nesya ini merupakan pacar orang yang dulu sangat dikaguminya.

Setelah tahunan baru mengulang buku ini lagi, rasanya kesan saya cukup banyak berubah. 8... 9... 10... Udah Belom?! memang masih bisa saya nikmati, percakapannya pun cenderung menghibur dan bikin saya ketawa sesekali, tapi secara keseluruhan, buku ini gak seberkesan dulu saat saya ulang-ulang waktu SMA.

Menurut saya obsesi Nesya terhadap Vino memang agak sedikit gak masuk akal mengingat mereka dulu ketemu saat Nesya baru berumur 5 tahun, tapi tanpa memasukkan hal tersebut ke dalam pertimbangan, saya masih suka cara penulis menjembatani permainan masa kecil mereka dengan konflik saat mereka sudah dewasa. Momen-momen menyentuhnya pun menurut saya sudah dapat, apalagi kilas balik yang disisipkan di pertengahan sampai akhir cerita. Buku ini pun tergolong tipis, jadi gak ada tuh detail gak penting yang sekiranya bikin bosan. Kisah Nesya dan Vino terasa mengalir dan cukup segar, apalagi dengan kehadiran Egi yang jayus dan humoris.

Namun karena pace yang tergolong cepat inilah, progres buku ini terkesan gak dikembangkan secara maksimal. Kiara menurut saya sahabat yang sangat baik dan pengertian, tapi karakternya cenderung terlalu gampang berubah tanpa landasan yang jelas, apalagi kalau menyangkut opininya soal Vino. Vino sendiri menurut saya oke, meski gak bikin saya naksir banget kayak sewaktu saya masih remaja dulu (umur memang gak bisa bohong ya hehe).


Overall, saya merasa masih dapat menikmati buku ini meski bukan lagi jadi favorit saya. Perihal apakah saya tertarik untuk mengulangnya suatu hari nanti, saya juga belum tahu, tapi gak ada yang gak mungkin kan? Meski begitu, saya akan tetap merekomendasi buku ini untuk teman-teman yang suka buku teenlit dan masih remaja. Gak bisa dipungkiri buku ini sempat masuk ke kategori bagus banget saat saya masih kecil dulu.

Actual rating: 3

Post a Comment

0 Comments