"Kenapa harus takut gelap kalau ada banyak hal indah yang hanya bisa dilihat sewaktu gelap?"
Saya berhasil menamatkan Winter in Tokyo karya Ilana Tan dalam kurun waktu yang cukup singkat: tiga kali baca dengan durasi satu jam lebih sedikit per harinya. Selain karena ceritanya tergolong cukup ringan, mengulang buku ini untuk yang kesekian kalinya terbukti masih terasa menyenangkan. Memang sudah cukup lama sejak terakhir saya keranjingan mengulang tetralogi musimnya Ilana Tan beberapa tahun yang lalu, dan meski saya masih cukup ingat garis besar ceritanya, saya masih aja dibuat gak sabaran kepingin cepat-cepat menyelesaikan buku ini karena masih suka.
Winter in Tokyo bercerita tentang Ishida Keiko, gadis blasteran Indonesia-Jepang yang saat ini tinggal di Tokyo dan bekerja sebagai seorang pustakawan. Apartemen 201 di seberang ruangan yang Keiko tempati sudah cukup lama kosong sehingga ketika ada orang baru yang menyewanya, berita tersebut pun langsung menyebar dengan cepat di seantero gedung kecil tersebut. Si penyewa baru ternyata bernama Nishimura Kazuto, datang jauh-jauh dari New York dengan dalih mencari suasana baru. Seiring berjalannya waktu, Keiko dan Kazuto pun semakin dekat. Namun, suatu kecelakaan menimpa salah seorang dari mereka, menyebabkan hilangnya ingatan mengenai satu bulan terakhir yang telah keduanya lewati bersama.
Buku too good to be true dengan kebetulan yang terlalu sering biasanya memang bisa saya nikmati meski gak jadi favorit. Ilana Tan adalah salah seorang penulis yang berhasil mematahkan stigma tersebut karena meski klise, ceritanya tereksekusi dengan baik dan bikin nagih. Harap diingat, Winter in Tokyo adalah salah satu buku terfavorit saya dari tetralogi ini, jadi mohon dimaklumkan ya kalau ulasan saya akan bersifat sedikit bias.
Di ulasan saya untuk novel Summer in Seoul beberapa bulan lalu, saya sempat menyinggung kalau sebenarnya saya agak merasa terganggu dengan kalimat-kalimat 'ala novel terjemahan' yang terasa sedikit berlebihan. Untungnya di buku ini saya gak banyak menemui hal tersebut. Kisah cinta Kazuto dan Keiko memang gak bisa dibilang slow-burn meski gak tergolong insta-love juga, tapi karena setiap percakapan dan pertemuan terasa mengalir banget (terlepas dari kebetulan-kebetulan yang harus diakui memang terlalu banyak), saya sangat menikmati kisah keduanya. Kemampuan Ilana Tan untuk menyulap suatu hal yang klise memang patut diacungkan jempol. Alurnya yang gampang tertebak sama sekali gak jadi masalah buat saya karena penuturan yang asyik dan vibes cerita ini yang cozy.
Salah satu aspek yang saya sukai dari buku ini adalah latar Jepangnya yang gak terasa asal tempel. Saya ingat banget, suasana gedung apartemen Keiko sempat bikin saya bercita-cita kepingin tinggal di tempat seperti itu juga—dan efeknya ternyata masih sama sampai sekarang. Di sisi lain, karakter Keiko dan Kazuto memiliki daya tarik sendiri yang membuat saya bisa merasa empati dan suka sama mereka. Sayangnya, twist kecil di akhir cerita yang sewaktu SMA dulu saya pikir cute sekarang saya anggap—lagi-lagi—terlalu kebetulan. Tapi apa mau dikata, saya memang suka banget dengan manisnya buku-buku Ilana Tan, jadi ya buat saya segala kebetulan itu sudah tertebus.
Overall, saya sangat menikmati perjalanan saya menyusuri Tokyo bersama Keiko dan Kazuto. Kalau disuguhkan pertanyaan yang sama: apa saya bakal mengulang buku ini suatu hari nanti, jawaban saya pun gak berubah. Winter in Tokyo akan jadi buku romance yang saya bakal ulang-ulang lagi di masa depan, mungkin nantinya dengan segelas coklat panas ketika hujan deras.
Actual rating: 4.4★
0 Comments