Mari memulai tahun baru ini dengan teori tidak penting saya: kalau satu tahun saja bisa mengubah banyak hal, tiga tahun jelas sudah 'merenovasi' segalanya.
Dalam rentang tahun 2012-2019, saya sempat menjadi orang yang luar biasa berbeda. Masih sangat idealis dan terbiasa merasakan sesuatu dengan menggebu-gebu, blog lama saya berisi ratusan prosa pendek yang saya tulis dengan rajin hampir setiap harinya. Kebiasaan itu lama kelamaan pudar, namun saya ingat betul bagaimana hal-hal kecil dapat menggelitik benak saya untuk menulis. Dari tetesan air hujan, berjalan di belakang seorang teman dan mengamati punggungnya yang terlihat tegap di bawah sinar matahari terik, hingga menghabiskan malam tahun baru di bar karaoke bersama keluarga besar pun dapat menerbitkan secuil inspirasi yang membuat saya ingin mengembangkannya secara berlebih.
Prosa ini saya tulis menjelang tahun baru di tahun 2019 silam. Menjelang pukul 12 tepat, saya kebelet ingin ke toilet. Saya pun memutuskan untuk pergi saja daripada ditahan-tahan. Ketika saya kembali, saya lantas diberitahu kalau selebrasi 00.00 ternyata sudah lewat. Secara tidak langsung, bisa dibilang malam itu saya merayakan pergantian tahun sendirian di bilik kamar mandi bar karaoke yang asing. Dan hal itu membuat saya ingin menulis suatu kisah serupa yang dimodifikasi. Hasilnya seperti ini:
══════⊹⊱❖⊰⊹══════
"Ada dentuman suara yang berisik dan tak kunjung usai. Kerlipan lampu kecil berbeda warna menampilkan pantulan yang cantik di hadapan cermin tempatnya mematut diri. Di sini, di dalam bilik toilet yang lebarnya tak lebih dari tiga kali empat meter, ia menemukan privasi. Sepotong sepi yang sedari tadi ia cari-cari.
Bukannya ia menyalahkan siapa-siapa, ia hanya tidak menyangka bahwa tempat karaoke ini bisa mengganggunya sedemikian parah. Ia sudah terbiasa berbagi ruang dengan keramaian. Bahkan di tempat orang-orang saling berteriak pun, ia bisa merasakan khidmat dengan sebuah buku ataupun secarik kertas di tangan. Rasa sepi akan menjamunya seperti teman lama yang tak pernah tinggal terlalu jauh dari rumah. Dan ia sudah terlatih untuk menyambut baik perasaan itu. Namun sekarang, ia merasa asing—sekali lagi, ia tidak menyalahkan siapa-siapa; kecuali mungkin jam di dinding yang terasa terlalu lama bergerak dari tempatnya.
Ia akhirnya berjalan keluar, merasa tidak nyaman seolah baru saja melakukan kesalahan. Ruang yang dipesan teman-temannya berada di ujung lorong, namun ia merasa jarak itu terlalu dekat. Ia berjalan pelan, tapi kakinya tetap membawanya berhenti di depan pintu hitam berukiran angka 503 lebih cepat dari yang ia inginkan. Ia mendorongnya, menyalip masuk, dan entah berkat bakat atau musibah, tak ada satupun dari kerumunan itu yang menoleh ataupun menyadari keabsenannya. Di sini, fungsinya tak lebih dari sekedar pelengkap: ia hadir karena ia ada, dan ia ada untuk bukan apa-apa.
Seseorang berdiri dan berjalan ke arahnya dengan santai, mengalunkan senandung nada dari lagu yang baru saja mereka nyanyikan. Untuk sesaat, nafasnya tertahan. Beribu kata 'kenapa' muncul, bersusulan dengan beribu kemungkinan, yang kalau terjadi pada orang lain, entah siapa yang repot-repot mau buat. Pipinya lantas menghangat. Ternyata, kamu hanya ingin menambah wine. Tiba-tiba saja dingin merasuki tubuhnya. Untuk sesuatu hal yang ia tidak bisa jelaskan, ia malu.
Gemerlap lampu warna-warni memantulkan cahaya yang indah dari langit-langit. Meski tahu bahwa dirinya sama sekali tidak menyentuh secicip pun anggur yang tersuguh, ia tetap mau percaya bahwa saat ini ia sedang mabuk. Dari sekian banyak warna yang diproyeksikan sang lampu, entah bagaimana, wajahmu berhasil menangkap satu warna yang jarang timbul. Oranye. Dan warna itu terus memendar di sana, mengendap dalam dua lesung kecil yang tiba-tiba saja muncul. Gelas anggur di tanganmu sudah setengah terisi. Satu lagi lagu baru saja berakhir. Tahu-tahu, kepalamu terangkat naik. Matamu menangkap matanya. Dan kamu tersenyum.
Ada alasan kenapa sepi selalu menyambutnya dengan kelewat ramah. Ada alasan kenapa orang-orang selalu beranggapan bahwa ia terlalu diam. Ada alasan kenapa tulisannya tak pernah ia selesaikan dan hanya ditumpuk dalam sebuah folder bernama draf. Namun yang pasti, ada alasan kenapa saat ini ia memilih untuk duduk di pinggir, menonton keramaian itu seperti menonton layar kaca dan tidak melakukan apa-apa. Tak ada yang pernah tahu bahwa sepi membuatnya nyaman. Tak ada yang pernah tahu bagaimana ramai yang selalu dihindarinya tidak berlaku untuk benaknya. Selalu ada saatnya di mana seseorang hanya bisa melihat, merasa, dan menulis. Namun, seperti tak semua tulisan harus terpublis, ia yakin tak semua perasaan juga harus berbalas. Ia hanya dapat menyimpannya rapat-rapat sebagai koleksi yang mudah-mudahan tidak akan usang.
Ia tahu bahwa sepi ini akan hilang dalam sekejap sebagaimana ia selalu percaya bahwa proses air mendidih menjadi uap yang mengkondensasi lalu raib adalah cermin dari kehidupan kecilnya. Seperti mimpinya menjadi penulis yang hanya bisa ia kubur untuk dibiarkan menguap suatu hari, seperti harapan sesaatnya kepada sang waktu untuk bergerak dengan sedikit lebih cepat, ia tahu senyum itu juga akan hilang, menguap di tengah lampu berwarna banyak dan pergi ditelan melodi lagu yang bergaung terlalu keras dari jaring-jaring speaker. Ia pun akan menguap, menjadi butir-butir air, untuk kemudian melebur dengan keramaian di sekitarnya. Dan untuk kesekian kalinya tahun ini, ia menelan satu lagi pil pahit bernama kesadaran, bahwa ia bukan bagian dari ini semua.
Kamu meletakkan botol anggur dan berbalik badan. Dan ia sekali lagi meninggalkan sarangnya dan menyalip keluar. Di bilik berukuran tak lebih dari tiga kali empat meter ini, ia sekali lagi menyapa sepi dengan punggung menyender di tembok toilet. Ada alasan kenapa ia menyukai sepi, dan ini adalah salah satunya.
Suara riuhnya kembang api terdengar seperti berlomba-lomba seolah sedang berusaha saling menyusul di kejauhan sana. Alasan demi alasan terurai sudah. "Selamat tahun baru," bisiknya. Entah kepada dinding, pantulan dirinya di kaca, atau mungkin lampu warna warni yang juga terpasang di setiap sisi bilik. Ia pun tidak tahu.
"Selamat tahun baru," bisiknya lirih, sekali lagi. Namun kali ini, ia tahu untuk siapa.
Sebuah Kisah di Ujung Tahun,
—26 Januari 2019"
══════⊹⊱❖⊰⊹══════
Jujur, saya tidak serindu itu dengan perasaan menggebu-gebu yang mendorong saya untuk berpikir, jatuh cinta, dan menulis. Menjadi realistis dewasa ini terasa lebih cocok dengan kepribadian saya. Namun saya sadar, kadang menggebu-gebu itu perlu. Merasakan sesuatu dengan terlampau kuat itu perlu. Di tahun 2022 ini, semoga saya dapat merasakan lagi hanya secuil saja perasaan menggebu-gebu yang dulu selalu menyelimuti hari-hari saya.
0 Comments